Senin, 24 April 2017

STRUKTUR INTERN HUKUM

STRUKTUR INTERN HUKUM
A. Peraturan Hukum dan Peristiwa Hukum
Peraturan hukum itu tidak boleh disamakan dengan dunia kenyataan, ia hanya memberikan kualifikasi terhadap dunia tersubut. Rumusan-rumusan yang tercantum dalam peraturan hukum itu seolah-olah sesuatu yang sedang tidur dan pada waktunya ia akan bangun manakala ada sesuatu yang menggerakkannya. Bolehlah ia diibaratkan pula dengan pistol dan picunya. Begitu picu itu ditarik maka meletuslah senjata itu.
Sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menujukkan potensinya untuk mengatur disebut peristiwa hukum. Peristiwa hukum ini adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan tertentu sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya lalu diwujudkan. Suatu peraturan hukum yang mengatur tentang kewarisan karena kematian akan tetap merupakan rumusan kata-kata yang diam sampai ada seseorang yang meninggal dan menimbulkan masalah kewarisan. Kematian orang itu merupakan suatu peristiwa hukum. Secara lebih terperinci kita bisa mengatakan sebagai berikut : apabila dalam masyarakat timbul suatu peristiwa, sedang peristiwa itu sesuai dengan yang dilukiskan dalam peraturan hukum, maka peraturan hukum itu pun lalu dikenakan kepada peristiwa tersebut.
Dari uraian dimuka dapat diketahui, bahwa tidak setiap peristiwa bisa menggerakkan hukum. Apabila A menggambil sepedah motor miliknya sendiri, maka timbullah suatu peristiwa. Peristiwa ini tidak menggerakkan hukum untuk bekerja, lain halnya apabila yang diambil oleh A adalah sepeah motor orang lain. Di sini hukum digerakkan untuk bekerja, oleh karena hukum memberikan perlindungan terhadap orang lain tersebut. Oleh karena itu hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa menggerakkan hukum dan untuk itu ia disebut sebagai peristiwa hukum.
Peristiwa-peristiwa seperti dilukiskan dalam peraturan hukum tidak sama dengan peristiwa-peristiwa sesungguhnya. Peraturan hukum itu hanya membuat suatu kerangka saja dari peristiwa yang bisa terjadi dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Ia hanya berupa garis besar yang bersifat bagan dari peristiwa sesungguhnya. (Vinogradoff, 1959:65). Di muka ia kita sebut sebagai stereotip tingkah laku dan hubungan-hubungan. Peristiwa yang sesungguhnya terjadi memang diperlukan untuk bisa menggerakkan hukum, tetapi tidak semua hal yang melekat pada peristiwa itu dianggap penting oleh hukum. Agar hukum itu bisa digerakkan, maka ia hanya membutuhkan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan, bahwa rumusan tingkah laku yang tercantum dalam peraturan hukum itu memang terjadi. Lebih dari itu hukum tidak membutuhkannya. Misalnya saja terdapat peraturan hukum yang melindungi orang dari perbuatan penganiayaan orang lain. Cara hukum melindungi adalah dengan merumusan stereotip tingkah laku yang disebut sebagai penganiayaan itu. Stereotip, bagan atau kerangka perbuatan penganiayaan itu, misalnya, adalah : merusak kesehatan, menimbulkan luka, menyebabkan tidak bisa bekerja, sampai kepada menyebabkan kematian. Hanyalah peristiwa-peristiwa yang dibutuhkan untuk membuktikan terjadinya keadaan seperti disebutkan diatas saja yang perlu dikemukakan disini. Peristiwa, suasana, sifat-sifat dan keadaan lain yang mengiringi peristiwa yang diperlukan sebagai bukti itu, boleh diabaikan saja. Dalam pembuktian di pengadilan, hakim mungkin juga akan menyinggung hal-hal yang sebetulnya tidak dibutuhkan untuk digolongkan ke dalam kata-kata sepintas lalu yang tidak menyinggung masalah sesungguhnya dan karenanya disebut obiter dicta, yang hanya merupakan komentar hakim terhadap perkaranya. Kata-kata yang diucapkan tanpa memberi pengaruh terhadap penetuan peristiwa hukumnya ini harus dibedakan dari ratio kenyataan, yang sebelumnya baru merupakan rumusan kata-kata dalam peraturan hukum saja.
Di muka dibicarakan tentang kelanjutan-kelanjutan yang mengikuti timbulnya suatu peristiwa hukum. Kelanjutan-kelanjutan ini juga dirumuskan dalam peraturan hukum. Dalam contoh mengenahi sewa-menyewa di muka, maka kelanjutan-kelanjutan tersebut di antaranya berupa kenikmatan yang dipetik oleh salah satu pihak, yaitu si penyewa. Kelanjutan-kelanjutan seperti ini, dalam bahasa kita lazim disebut sebagai akibat hukum. Kita sebaiknya berhati-hati dengan penggunaan istilah ini, sekadar tidak membangkitkan kesan adanya hubungan sebab-akibat seperti norma alam.
Agar timbul akibat hukum seperti itu dibutuhkan syarat tertentu. Dalam contoh di muka, syarat itu berupa terjadinya suatu peristiwa dalam kenyataan yang memenuhi rumusan dalam peraturan hukum, yaitu adanya kegiatan sewa-menyewa. Syarat ini disebut sebagai dasar hukum. Dengan demikian, di sini disasarkan untuk membedakan antara dasar hukum dan peraturan hukum, yaitu yang menunjuk kepada peraturan hukum yang dipakai sebagai kerangka acuannya. Dalam pembicaraan sehari-hari keduanya sering dicampuradukkan.
Masyarakat atau kehidupan sosial sesungguhnya merupakan himpunan dari berbagai macam hubungan antara para anggotanya. Hubungan-hubungan inilah yang pada akhirnya membentuk kehidupan sosial itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kehidupan sosial itu merupakan jalinan dari berbagai hubungan yang dilakukan antara para anggota masyarakat satu sama lain. Hubungan-hubungan inni berkisar pada kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan ditunjukkan kepada sasaran-sasaran dari yang paling kasar, seperti benda-benda ekonomi, sampai kepada yang paling halus. Dalam hal perkawinan, misalnya, sulit bagi kita untuk mengatakan, bahwa di situ terlibat sasaran yang bersifat decidendi, yang berisi peristiwa-peristiwa yang menentukan dalam keputusan hakim.
Di muka berulang kali dipakai kata “menggerakkan hukum” yang kiranya masih perlu dijelaskan artinya. Seperti telah diutarakan peraturan hukum memuat norma hukum yang mengandung penilaian serta rumusan yang bersifat hipotesis. Manakala pada suatu ketika terjadi peristiwa-peristiwa seperti dilukiskan dalam peraturan hukum, maka kelanjutan-kelanjutan yang mengikutinya akan tampil.
B. Peristiwa Hukum
Anggota-anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan satu dengan lainnya yang menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit).
Apabila sesorang meminjam sebuah sepeda dari orang lain, maka terjadilah suatu peristiwa, yakni peristiwa pinjam-meminjam. Dalam dunia hukum ditetapkan suatu kaedah yang menentukan, bahwa si peminjam berkewajiban mengembalikan benda yang dipinjamnya dan pemiliknya berhak memintakan kembali benda yang dipinjamkannya.
Atau lebih mudahnya yang dimaksud dengan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit) adalah peristiwa kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum. Agar lebih jelas penyusunannya akan menyampaikan beberapa contoh yang relevan dengan istilah peristiwa hukum, sebab tidak semua peristiwa kemasyarakatan akibatnya diatur oleh hukum.
Contoh Pertama:
Seorang pria menikahi wanita secara resmi. Peristiwa pernikahan atau perkawinan ini akan menimbulkan akibat yang diatur oleh hukum, yakni hukum perkawinan. Misalnya timbul hak dan kewajiban bagi suami istri. Perhatikan pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. Sedangkan Pasal 34 Ayat (2)-nya menetapkan, “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.
Contoh Kedua:
Peristiwa kematian seseorang. Peristiwa kematian seseorang secara wajar dalam hukum perdata akan menimbulkan berbagai akibat yang diatur oleh hukum. Misalnya penetapan pewaris dan ahli waris. Perhaikan Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Sedangkan apabila kematian seseorang itu akibat pembunuhan, maka dalam hukum pidana akan timbul akibat hukum bagi si pembunuh, yaitu ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Perhatikan Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati atau pembunuh atau doodslag, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Contoh Ketiga:
Peristiwa transaksi jual beli barang. Pada peristiwa ini pun terdapat akibat yang diatur oleh hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Perhatikan Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Setelah memperhatikan contoh-contoh diatas, ternyata peristiwa hukum itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum)
Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum.
Perbuatan subjek hukum dapat pula dibedakan antara lain :
Perbuatan hukum yaitu segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak.
Perbuatan hukum itu terdiri   dari ;
Perbuatan hukum sepihak yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula misalnya  pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah sesuatu benda (hibah), dsb.
Perbuatan hukum dua pihak ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak (timbal balik) misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa, dll
Perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum dibedakan :
Zaakwaarneming, yaitu perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang  itu untuk memperhatikan kepentingannya. Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Jadi akibat yang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan hukum.
Menurut Pasal 1354 KUHPerdata, pengertian Zaakwarneming adalah  mengambil alih tanggung jawab dari sesorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi untuk mengurus dirinya sendiri. Pasal 1354 KUHPerdata menyebutkan,” jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang tersebut, maka dia secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusan tersebut. Ia diwajibkan pula mengerjakan segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.
Onrechtmatige daad (perbuatan yang bertentangan dengan hukum). Akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu itu memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini siapa yang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan karena perbuatan itu. Jadi, karena suatu perbuatan  bertentangan dengan hukum timbulah suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum
Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau peristiwa hukum lainnya yaitu peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat yang tidak merupakan akibat dari perbuatan subyek hukum, misalnya kelahiran seorang bayi, kematian seseorang , lewat waktu (kadaluarsa).
Kadaluarsa dibagi dua yaitu:
Kadaluarsa aquisitief adalah kadaluarsa atau lewat waktu yang menimbulkan hak.
Kadaluarsa extincief adalah kadaluarsa yang melenyapkan kewajiban.
Kelahiran langsung menimbulkan hak anak yang dilahirkan untuk mendapat pemeliharaan dari orang tuanya dan menimbulkan kewajiban bagi orang tuanya untuk memelihara anaknya. Kematian juga merupakan peristiwa hukum karena dengan adanya kematian seseorang menimbulkan hak dan kewajiban para ahli warisnya. Kemudian, lewat waktu dapat mengakibatkan seseorang memperoleh suatu hak (acquisitieve verjaring) atau dibebaskan dari suatu tanggung jawab/kewajiban (extinctieve verjaring) setelah habis masa tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terpenuhi.
C. Akibat Hukum
Yang dimaksud dengan akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang kemudian melahirkan suatu hak dan kewajiban bagi para subyek hukum.
Atau dengan kata lain, akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum. Contoh mengenahi akibat hukum, yaitu:
Terbitnya suatu hak dan kewajiban bagi pembeli dan penjual adalah akibat dari perbuatan hukum jual beli antara pemilik rumah dan pembeli rumah;
Penjatuhan hukuman terhadap seorang pencuri adalah akibat hukum dari adanya seseorang yang mengambil barang orang lain karena tanpa hak atau secara melawan hukum.
Perhatikan Pasal 362 KUH Pidana:
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknyan sembilan ratus rupiah”

KESIMPULAN
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan tertentu sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya lalu diwujudkan. Misalnya bisa diibaratkan seperti pistol dan picunya. Begitu picu itu ditarik maka meletuslah senjata itu. Peristiwa hukum dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum (perbuatan manusia) dan peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum (peristiwa yang bukan perbuatan manusia).
Atau bisa dikatakan juga bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum.
Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku :
Kansil, C.S.T.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: PT. Balai Pustaka.2008.
Machmudin, Dudu Duswara.Pengantar Ilmu Hukum.Bandung: PT. Refika Aditama.2010.
Rahardjo, Satjipto.Ilmu Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.2000.
Referensi Jurnal (Online) :
JurnalAcademia,  HYPERLINK "http://www.academia.edu/download/38533363/PENGANTAR_ILMU_HUKUM.docx" http://www.academia.edu/download/38533363/PENGANTAR_ILMU_HUKUM.docx).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar