Senin, 24 April 2017

URGENSI IJTIHAD dalam METODE STUDI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mengingat pentingnya dalam syariat islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiahyang sungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Oleh karena itu, diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu. Maka ijtihad menjadi sangat penting. Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an  dan Sunnah. Maka dari itu karena banyaknya persoalan yang ada, kita sebagai umat dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu dengan melaksanakan ijtihad.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Ijtihad
     Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-musyaqqah(yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Qur’an kata jahda sebagaimana dalam QS. An-Nahl:38, An-Nur:53, Fathir:42 semuanya mengandung arti badzl al wus’i wa thaqati (pengrahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah).
     Secara terminologi, ijtihad mempunyai makna:
 mencurahkan segenap kemampuan dalam  mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.  
Penggalian kesungguhan dengan usaha optimal dalam menggali hukum syara’
Ibrahim Hosen mengidentikkan maknna ijtihad dengan al-istinbath. Istinbath berasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumur yang digali). Dengan demikian, menurut bahasa arti istinbath sebagai padanan dari ijtihad adalah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.

Syarat-syarat dan tingkatan mujtahid
Sesuai dengan syarat-syarat yang dimilikinya, mujtahid terbagi manjadi beberapa tingkatan:
1. Mujtahid mutlak
Adalah orang yang mampu menggali atau mengambil hukum-hukum cabang dari dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan atas segala aktivitas ijtihadnya . Mujtahid ini dibagi menjadi dua:
a. Mujtahid mutlak mustaqil, mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taqlid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk mazhab ini umpamanya mazhab arba’ah (hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)
b. Mujtahid mutlak muntasib, mujtahid yang telah mencapai derajat mutlak mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri. Mujathid ini tidak taqlid kepada imamnya tanpa taqlid dan keterangan, ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya Al-Muzani dari mazhab Syafi’i dan al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi.
2. Mujtahid mazhab
Orang yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Misalnya Abu Ja’far al-Thahtawi dalam maazhab Hanafi. Mujtahid ini dibagi menjadi dua yaitu mujtahid Takhrij atau dikenal mujtahid ashhab al-Wujud dan mujtahid Tarjih atau dikenal dikenal mujtahid fatwa.  
Untuk menjadi seorang mujtahid harus mengikuti syarat-syarat khusus, yaitu:
Syarat umum, terdiri atas muslim, baligh, dan sehat pikiran serta dhabit (kuat ingatannya)
Syarat-syarat keahlian dan profesionalitas mujtahid
Syarat-syarat pokok :
1. Penguasaan terhadap Al-Qur’an, Ulumul Qur’an, ayat-ayat ahkam, asbab al-nuzul, serta nasikh-mansukhnya, pendapat jumhur ulama.
Penguasaan terhadap sunnah, ulumul hadits, hadits-hadits ahkam, asbab al-wurud, nasikh-mansukhnya dsb. 
2. Penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab
3. Penguasaan ijma’ ulama yang sudah ditetapkan, sehingga hasil ijtihadnya tidak tumpang tindih

Syarat-syarat pelengkap (penyempurna)
1. Mengetahui hukum “bara’ah asliyah” yakni hukum asal sesuatu. Misalnya, pada dasarnya muamalah itu sah kecuali ada larangan.
2. Mengetahui substansi syariah, sehingga pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an atau Sunnah tidak hanya teksnya saja, tetapi yang penting adalah substansi yang dikehendaki.
3. Mengetahui kaidah-kaidah umum. Misalnya kaidah-kaidah ushul dan kaidah-kaidah fi’liyah.
4. Mengetahui masalah-masalah khilafiyah yang sebelumnya telah diperdebatkan oleh para ulama. Misalnya mengetahui lafal musytarak “qur’un” bisa berarti suci atau juga haid.
5. Mengetahui tradisi tiap negara, karena tradisi itu dapat menetapkan hukum.
6. Mengetahui ilmu mantiq beserta balaghahnya.
7. Mempunyai keadilan dan kesalehan, seorang mujtahid dalam berijtihad tidak dilatarbelakangi oleh nafsu politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.
8. Mempunyai metode yang baik dalam memecahkan kasus.
9. Ia wara’ dan  iffah.
10. Mempunyai penalaran yang tinggi dalam menganalisa masalah.
11. Hasil ijtihadnya dapat dipercaya.
12. Antara perbuatan  dan pendapatnya terjadi relevansi.


B. Ijtihad dan dinamika dalam islam
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memrlukan penyelesaian yang saksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjuk nas. Dibalik itu, kata Roter Garaudy yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, tantangan umat sekarang ada dua macam, taklid kepada barat dan taklid kepada masa lalu. Taklid model pertama muncul karena ketidakmampuan membedakan antara modernisasi dan cara hidup barat; sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan syariat yang merupakan wahyu dan pandangan fuqaha masa lalu tentang syariat itu.
Maka umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu dengan cara ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sangat penting walaupun tidak bisa dilakukan setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh itu memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya alam as-Sunnah, yaitu masuknya hadis-hadis palsu dan perubahan pemahaman tentang nas. Oleh karena itu, para mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran islam yang sebenarnya melalui ijtihad.
Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di dalamnya terdapat yang ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyid, hakim dan mahkum, nasikh dan mansukh, serta yang lainnya yang memerlukan penjelasan para mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad berperan sebagai penyalur kreativitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Ijtihad juga memberi tafsiran kembali atas perundang—undangan yang sifatnya insidental sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku pada masanya dan tidak melanggar prinsip-prinsip umum, dalil-dalil qully dan maqashid al-syariat. Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-yang zhanni al-wurud atau zhanni al-dalalah. Ijtihad diperlukan untuk mecari pemecahan islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer.

Metode istinbath hukum islam
Metode istinbath dibagi menjadi empat macam, yaitu:
Pertama, metode bayani, yaitu metode istinbath hukum islam yang mana cara pemecahan kasus/masalah langsung digali dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tugas mujtahid disini adalah menjelaskan, menguraikan, dan menganalisis isi kandungan kedua sumber itu, sehingga dapat dikeluarkan produk hukum. Asumsi metode bayani adalah bahwa seluruh masalah yang terjadi pada manusia telah ditercaver di dalam kedua sumber tersebut, sehingga tidak ada dalil lagi kecuali dari keduanya. Metode bayani dibagi menjadi empat bagian:
   Dilihat dari segi kandungan lafal terhadap makna; seperti lafal yang umum atau khusus, mutlak atau terbatas, larangan atau perintah. 
   Dilihat dari segi penggunaan lafal dalam makna; seperti masalah hakikat, majaz, sharih dan kinayah
   Dilihat dari segi petunjuk lafal terhadap makna; seperti masalah dhahir, nash, musafir, dan muhkam, atau khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih
   Dilihat dari segi cara bagaimana lafal menunjukkan makna; seperti masalah yang tersurat (manthuq) dan tersirat (mafhum)

Kedua, metode ijma’(kesepakatan), yaitu menetapkan dan memutuskan suatu perkara dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan ijma’ ini misalnya adalah permasalahan KB (Keluarga Berencana) yang merupakan hasil kesepakatan ulama (dalam MUI) di Indonesia.
Ketiga, metode qiyasi yaitu metode istinbath hukum islam yang mana cara pemecahan kasus/masalah tidak langsung ditunjuk dari Al-Qur’an dan Sunnah, melainkan berdasarkan persamaan motif (illat). Karena hukum yang dipecahkan belum ada dasar hukumnya, maka ia dapat menganalogikan dengan dasar hukum kasus/masalah lain berdasarkan kesamaan motif. Metode ta’lili terbagi menjadi qiyas aula (lebih tinggi) dan qiyas adna (lebih rendah); qiyas jali (terang) dan qiyas khafi(tersembunyi). Contohnya dalam menentkan zakat fitrah. Karena di zaman nabi belum ada persoalan padi, maka zakat fitrah kurma/gandum diqiyaskan dengan padi/beras. 
Keempat, metode istishlahi, yaitu metode istinbath hukum islam yang mana cara pemecahan kasus tidak langsung dirujuk dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang diambil dari prinsip-prinsip dasar kedua sumber. Kasus yang dipecahkan tidak ada acuan dalil, sehingga hanya mengambil hikmah atau falsafah hukum yang terkandung dalam nash  untuk kemudian diterapkan dalam pemecahan kasus tersebut. Asumsi metode istishlah yaitu, bahwa tidak semua kasus yang terjadi pada manusia telah terkaver didalam kedua sumber tersebut, tetapi pada prinsipnya Al-Qur’an dan as-Sunnah telah memberikan prinsip-prinsip dasar dalam istinbath hukum islam yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Tugas mujtahid disini adalah mencari prinsip-prinsip dasar dalil untuk kemudian diterapkan dalam hukum islam agar umat Islam dapat memperoleh kemaslahatan berdasarkan hukum tersebut.
Macam-macam metode istishlah sebagai berikut:
Maslahah Mursalah, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan didalam nash, dengan pertimbangan hidup manusia, dan bersendikan asas menarik kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Maslahah mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik maslahah dan menolak mudarat melalui penyelidikan terlebih dahulu, dan ketetapan bersifat umum bukan untuk kepentingan perseorangan serta hasil yang tidak bertentangan dengan nash. Metode ini hanya dipakai oleh Imam Malik, dimana divaliditasnya dibawah derajatnya Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan amal ahlul Madinah, sementara Imam Syafi’i menolak.
Istihsani, yaitu memandang lebih baik dilakukan atau ditetapkan hukumnya, yang sesuai dengan tujuan syari’ah. Prosedurnya adalah menentukan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan ketentuan dalil umum. Istihsan diterapkan jika dipandang perlu untuk kepentingan yang dilalui dan memenuhi tujuan tuntutan syari’ah. Istihsan hanya dipakai oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sedangkan Imam Syafi’i menolaknya, bahkan menentang dengan fatwa:
“Siapa yang menggunakan Istihsan, ia telah sungguh-sungguh menentang hukum syara’ dalam agama”.
Kiranya Imam Syafi’i salah paham dalam masalah ini. Ia memandan istihsan sebagai penetapan suatu hukum menurut sesuka hati tanpa didasari dengan suatu dalil. Padahal istihsan sebenarnya adalah mengambil dari dua dalil atau lebih yang dipandang lebih kuat. Kalau istihsan dengan pengertian ini, maka Imam Syafi’i juga mempergunakan dengan istilah munasabah atau istishhab.
Istishhabi, yaitu melangsungkan keberlakuan ketentuan hukum yang ada, sehingga terdapat ketentuan adil yang mengubahnya. Istishhab yang dimaksud baik berupa istishhab ‘aqli (melangsungkan dalil yang merubahnya), maupun istishhab syar’i (melangsungkan keberlakuan hukum syara’ berdasarkan suatu dalil yang dan tidak ada dalil yang mengubahnya. Sebagian besar pengikut Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Zhahiri berhujjah dengan istishhab. Namun Abu zaid seorang ulama Hanafi memandang istishhab sebagai penolakan terhadap ketetapan nash dan mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru.
Amal ahlul Madina, yaitu tradisi yang dilakukan oleh penduduk Madinah, dan tradisi itu diduga kuat warisan dari Sunnah Rasulullah SAW. Imam Malik mempergunakan Amal ahlu Madinah sebagai hujjah, sedangkan Imam Syafi’i menolaknya.
‘Urfi, yaitu tradisi (adat) yang dilakukan oleh masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Tradisi tersebut dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri. Jumhur Ulama mempergunakan ‘urf, hanya saja nereka berbeda cara menentukan. Artinya, ‘urf masyarakat mana yang perlu dijadikan hujjah. Ulama Malikiyah mempergunakan ‘urf ahlu Madinah, ulam Hanafiah mempergunakan ‘urf penduduk kuffah, sedangkan ulama syafi’iayah menggunakan ‘urf masyarakat Baghdad yang dikewnal dengan “qawl qadim” (pendapat lama), dan masyarakat Mesir yang dikenal dengan “qawl jadid” (pendapat baru).
Mazhab Shahabi, yaitu pendapat-pendapat dari hasil ijtihad para sahabat Nabi SAW., ketika Nabi sudah meninggal dunia. Apabila pendapat sahabat Nabi SAW. itu diduga keras warisan Nabi SAW., maka jumhur ulama sepakat menjadikannya sebagai hujjah. Namun kalau diduga bukan bukan dari warisan Nabi SAW., maka pendapat ini tidak dapat dijadikan hujjah. Imam Ahmad bin Hambal mendahulukan Hadist Mursal dan Dhaif dari ada mazhab shahabi, sedangkan al-Syaukani menganggap mazhab shahabi seperti pendapat kebanyakan para mujtahid, yang tidak harus diikuti.
Sadd al Dzari’ah, yaitu menghambat, menghalangi, dan menyumbat semua jalan yang menuju kerusakan atau maksiat. Tujuan metode ini adalah untuk menarik kemaslahatan. Pada awalnya, perbuatan yang dimaksud tidak memiliki hukum apapun, tetapi jika dibiarkan lazimnya akan menjerumusnya pelakunya kepada perbuatan dosa, seperti bermain kartu remi, yang lazimnya berujung pada perjudian.

Terhadap ketiga metode tersebut, terdapat tiga alternatif keberlakuannya, yaitu:
Model Hierarki, yaitu memberlakukan model ijtihad diatas dengan mendahulukan yang lebih tinggi derajatnya untuk kemudian disusul metode dibawahnya. Metode bayani harus lebih dahulu daripada metode qiyas dan metode qiyas harus lebih dahulu dari pada metode istishlahi.
Model proporsional, yaitu, memberlakukan metode ijtihad tersebut berdasarkan kasus yang dihadapi. Artinya, seseorang mujtahid tidak harus berurutan dalam menggunakannya. Boleh jadi, metode istishlahi didahulukan dari pada metode qiyas, jika porsi kasus yang dihadapi cocok dipecahkan dengan metode istishlahi.
Model ekletik, yaitu memberlakukan metode ijtihad dengan campuran, sebab tidak satupun kasus dapat dipecahkan dengan satu metode. Ketiga metode digunakan dengan simultan merupakan jalan terbaik, sehingga pertimbangan hukum menjadi lebih kuat.

Ustadz Hakim membagi ijtihad dengan ijtihad ‘aqli dan ijtihad syar’i ijtihad ‘aqli adalah ijtihad yang hanya menggunakan akal sebagai hujah untuk dijadikan sebagai syar’i dengan mempertimbangkan masalah dan menarik kemudharatan. Sedangkan ijtihad syar’i hanya menggunakan naql yang dijadikan sebagai hujah-hujah syar’i. Ijtihad aqli sama dengan metode qiyas dan istishlahi. Sedangkan ijtihad syar’i sama dengan metode bayani.

C. Model-model ijtihad
Kelahiran para mujtahid ini sungguh diperlukan untuk menjelaskan hukum-hukum Allah tentang berbagai masalah baru yang dihadapi oleh zaman, kendatipun model ijtihad yang dilakukan adalah ijtihad perbidang atau permasalah, bukan ijtihad mutlak.
Al-Syathibi menawarkan beberapa model ijtihaj sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Model ijtihad yang terkait dengan penegasan manath al-hukm (kesepakatan pada suatu hukum berdasarkan persamaan sifat ‘illat, seperti mencopet dipersamakan dengan mencuri). Model ini merupakan penetapan status hukum berdasarkan dasar substantive syari’at, tetapi ketetapan detailnya berdasarkan kondisi. Contohnya : penetapan definisi fakir, pembatasan kadar nafkah untuk istri dan keluarganya, penetapan besaran benda criminal.
Model ijtihad yang terkait dengan penilaian terhadap manath al-hukm. Model ini juga disebut ta’wil zdahir. Maksudnya bahwa posisi masalah yang dihukumi disebutkan pula, dengan yang masalah lainnya, dalam teks sehingga dapat dilakukan penilaian di dalamnya melalui ijtihad. Dengan model ini dapat diambil sebagai sandaran dan mana yang tidak dapat.
Model ijtihad yang terkait dengan pengeluaran manath. Yakni ijtihad qiyasi (ijtihad analogi), dimana teks yang menunjuk hukum tidak bertentangan dengan manath.
Model yang berkaitan dengan penegasan jenis manath. Seperti penetapan jenis upah pengembala, penetapan jenis perbudakan yang dipakai standar untuk pemerdekaan budak sebagai denda dan suatu pelanggaran (hal ini dikembalikan pada jenis dan bukan pada personal).
Model ijtihad yang terakhir ini membutuhkan ilmu dan persyaratan yang sangat luas. Karenanya mujtahid dalam model ini kadang tidak diketemukan dalam suatu zaman, meskipun sebenarnya dapat dikatakan bahwa mujtahid tidak pernah berhenti dari zaman ke zaman (Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, 4:58).



D. Spesialisasi dan aliran-aliran.
Jika dicermati, dikalangan para fuqaha’ terdapat aliran-aliran tertentu yang membedakan satu dengan yang lain karena perbedaan metode berpikir dan berijtihad. Masing-masing fuqaha’ mempunyai disiplin (spesialisasi) yang berbeda-beda pula. Misalnya, Umar Bin Khattab mempunyai aliran yang jelas berbeda dengan sahabat penting lainnya, seperti Abdulah ibn Mas’ud dan Zaid ibn Stabit.
Ibn al-Qayyim menjelaskan dalam buku A’laam al-Muwaqq’in, bahwa Ibn Mas’ud sedikitpun tidak bertentangan dengan Umar ubn al-Khattab. Al-Sya’bi berkata, “tiga tokoh yang sebagian diantaranya merasa membutuhkan yang lainnya adalah umar, Abdullah ibn Mas’ud, dan Zaid ibn Tsabit. “ sebagian para tabi’in menyatakan, “kami terdorong untuk menemui Umar, ternyata (saya ketahui) bahwa para fuqaha’ di mata Umar bagaikan anak-anak kecil, dimana ilmu dan keahliannya jauh diatas mereka. “adapun di antara para perawi ilmu Umar adalah Sa’id ibn Musayyab.
Ali ibn Thalib juga mempunyai aliran tersendiri yang diikuti oleh Ubay ibn Ka’ab dan Musa al-asy’ari. Ijtihad dan fatwa-fatwanya tersebar luas, hanya saja Syi’ah telah merusaknya karena ia terlalu berlebihan menyandarkan pendapat-pendapat pribadi kepada Ali, padahal itu bukan hasil ijtihad Ali. Oleh karena itu anda menemukan ahli hadist yang tidak mendasarkan hadist dan fatwa-fatwanya kecuali yang dibawakan oleh Ahahl Bait atau para periwayat yang benar-benar dapat dipercaya dari kalangan-kalangan sahabt-sahabat Abdullah ibn Mas’ud.
Aisyah ra juga mempunyai aliran tersendiri yang diikuti dan ditekuni oleh sejumlah para sahabat senior. Masruq, salah seorang tokoh tabi’in berkata, “Aku pernah melihat sekelompok wanita tua dari sahabat Rasulullah SAW yang menanyakan kepada Aisyah tentang Faraid  (ilmu pembagia harta waris).” Ternyata, Aisyah adalah seseorang pelopor ilmu tentang pembagian harta waris, hokum-hukum, dan halal-haram. Diantara alirannya adalah Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar dan Urwah ibn Zabir (keduanya adalah fuqaha’ Madinah dari kelompok tujuh). 
Metode berfikir dan fatwa Aisyah telah dikemukakan oleh sebagian orang dan tidak ketinggalan apa yang ditulis oleh imam Badruddin al-Zarkasyi tentang ini dalam bukunya Al-ijabah fii maa Istadrakat ‘Aisyah ‘ala al-shahabah, da ternyata tampak dalam buku itu pandangan, kebenaran kritik, kemampuan menghafal, serta kehebatan melukis Aisyah.
Ibn ‘abbas juga mempunyai aliran, apalagi di Makkah seperti halnya Abdullah ibn Umar mempunyai aliran di Madinah, di mana aliran ini cenderung kepada aliran Umar dan Zaid. Juga Ibn Mas’ud, ia mempunyai aliran fikih di kufah. Karena itu, perkembangan berikutnya, para tabi’in pun mempunyai aliran sebagaimana kita temukan.
Di makkah kita temukan Ikrimah Maula ibn Abbas dan ‘Atha’ ibn Abi Rabah al-Jundi al-Yamani. Dia berkulit hitam, matanya yang satu buta, pipih hidungnya, cacat kakinya, lumpuh, dan keriting rambutnya.lalu dimasa tua matanya menjadi buta total. Akan tetapi, ia mempunyai kelebihan ilmu, dimana ia tidak mengeluarkan fatwa untuk orang lain di hari-hari haji karena perintah dari khalifah Umayyah Abd al-malik ibn Marwan.
Di madinah terdapat Sa’id ibn Musayyab, Urwah ibn Zabir, Qasin ibn Muhammad, Sulaiman ibn Yasar, Ubaidillah ibn ‘utbah, Abu Bakaribn Abd al-Rahman, Kharijah ibn Zaid, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Abu Salmah ibn Abdurrahman ibn ‘Auf, Abban ibn Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Husain Zainal Abidin.
Di Kufah yang antara lain para murid Abdullah ibn Mas’ud adalah al-Qamah dan al-Nakh’I, Ibrahim al-Nakh’I, Syarih al-Qadli, Abdullah ibn Utbah, Aswad ibn Yazid, Yazid ibn Syarahbil al-Sya’bi, Masyiruq ibn al-‘Ajda’, Said ibn Jabir, dan lain-lain.
Di Basrah terdapat aliran abu Musa al-‘asy’ari, Anas ibn Malik, Hasan al-Bashri, Muthraf ibn ‘Abdillah, Muhammad ibn Sirin, Ziyad ibn Fairus, dan lain-lain.
Di syam terdapat murid-murid ‘Ubadah ibn Shamid, Abu Darda’ Makhul ibn abi Muslim, Raji’ ibn Hayat, Umar ibn Abd al-Aziz, Syarahbil ibn Abi Samith, dan lain-lain.
Di Mesir dan Afrika Utara terdapat Yazid ibn Habib, Ja’far ibn Abi Rabi’ah, Abdurrahman ibn Rafi’, dan lain-lain.
Metode-metode para fuqafa’ ini berbeda-beda, hingga ada yang disebut aliran hadist (ahl al-Hadist), aliran rasio (ahl al-Ra’yu), dan aliran gabungan antara keduannya, seperti hal itu pernah dijelaskan oleh ibn Qutaibah dalam bukunya Al-Ma’aarif, Syathibi dalam muwafaaqaat, ibn al-Qayyim dalam A’lam al-muwaqqi’in,. Yaitu,pengklasifikasian yang harus mendapatkan kajian ulang. Selanjutnya, aliran hadist cenderung berpegang pada hadist-hadist dan membenci pencabangan persoalan serta kajian-kajian terhadap motif hadist (‘illat). Aliran rasio (ra’yu) lebih menekankan pada qiyas atau pendayagunaan akal daripada teks-teks hadist. Aliran hadist menamakan aliran rasio dengan nama al-Ra’aitiyyun (dari kata ra’a mengetahui). Sebab mereka selalu mencabang-cabangkan persoalan sampai sedetail-detailnya, lagipula mereka sering mengatakan,
“Apa kamu mengetahui yang ini… itu…; dan apakah kamu mengetahui jika hal itu… ini…., begini….; hingga pernah terjadi seorang, Asid ibn Murad, menghadap imam Malik mengajak berdiskusi, lalu ia memerincikan masalah sampai sedetail-detailnya”.
Lalu beliau menjawab
“Mengapa masalahnya diputar-putar, jika kau menghendaki ini, kau harus pergi ke Irak, disana gudangnya aliran rasio, dan di Madinah ini tempatnya aliran hadist.”
Jika demikian ahl ra’yi  terlalu menekankan rasio, sedangkan ahl al-Hadist  terlalu menekankan pendapatnya pada hadist sampai-sampai tanpa pemikiran.
Sebagian ahl al-ra’yi  bertanya kepada salah seorang dari ahl al-hadist tentang masalh anak kecil laki-laki dan perempuan yang sesusuan dari kambing. Setelah dewasa, apakah keduanya diperbolehkan menikah. Ahl al-hadist menjawab, “keduanya haram menikah karena sesusuan.” Lalu, ahl ra’yu bertanya lagi tetang teks hadist mana yang mengharamkannya. Maka, ahl- al hadist  menjawa dengan sabda Rasulullah.
“Setiap anak laki-laki dan perempuan yang sesusuan, maka haram (menikahi) salah satunya depada orang lain.”
Ahl al-ra’yi menjawab sambil tertawa,
“Rasulullah SAW bersabda, “kedua anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul pada buah dada yang satu, tidak mengatakan pada sesusuan (dengan hewan),” dan hadist ini menetapkan hokum bagi antaranak adam dan tidak antara kambing dan anak adam.
Terlepas dari itu, mereka telah bersikap tidak senonoh terhadap yang lain, padahal keduannya sama-sama salah. Karenanya, seharusnya kelompok pertama juga memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang antara lain hadist, dan kelompok kedua juga memperhatikan aspek pemahaman (fikih). Jika ini tidak dilakukan, ahlu al-hadist hanya akan mengambil wahyu tanpa dapat dipahami kandungannya.
Sementara itu, generasi yang datang setelah para tabi’in, mempunyai ciri-ciri khusus dalam permasalahan metode-metode dan usul-usulnya. Mereka ini seperti Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabat (80-150H) Malik ibn Anas (96-179H), Laits ibn Sa’ad (94-195H), Muhammad ibn Idris al-syafi’I (150-204H), Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (164-241H). Ja’far al-Shadiq ibn Muhammad al-baqir (80-148H), Zaid ibn Ali Zainal Abidin (80-122H), Daud al-Zahiri (202-270H), al-‘Auza’I (88-157H), dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-musyaqqah(yang sulit yang susah). 
Secara terminologi, ijtihad mempunyai makna:
mencurahkan segenap kemampuan dalam  mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.  
Penggalian kesungguhan dengan usaha optimal dalam menggali hukum syara’.
Tingkatan mujtahid dibagi menjadi 2 yaitu : mujtahid mutlak dan mujtahid madzhab dimana mujtahid itu harus memenuhi syarat-syarat pokok dan syarat-syarat pelengkap.
Adapun pentingnya ijtihad itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh itu memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya alam as-Sunnah, yaitu masuknya hadis-hadis palsu dan perubahan pemahaman tentang nas. 
Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. 
Metode istinbath dibagi menjadi empat macam, yaitu:
Metode Bayani
Metode Ijma’
Metode Qiyasi
Metode Istislahi
Al-Syathibi menawarkan beberapa model ijtihaj sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Model ijtihad yang terkait dengan penegasan manath al-hukm (kesepakatan pada suatu hukum berdasarkan persamaan sifat ‘illat, seperti mencopet dipersamakan dengan mencuri). 
Model ijtihad yang terkait dengan penilaian terhadap manath al-hukm. Model ini juga disebut ta’wil zdahir. 
Model ijtihad yang terkait dengan pengeluaran manath. Yakni ijtihad qiyasi (ijtihad analogi), dimana teks yang menunjuk hukum tidak bertentangan dengan manath.
Model yang berkaitan dengan penegasan jenis manath. Seperti penetapan jenis upah pengembala, penetapan jenis perbudakan yang dipakai standar untuk pemerdekaan budak sebagai denda dan suatu pelanggaran (hal ini dikembalikan pada jenis dan bukan pada personal).
Dalam berijtihad, para mujtahid mempunyai banyak aliran dan spesialisasi tersendiri menurut aliran mereka.


DAFTAR PUSTAKA


Abd,Atang. Hakim dan Mubarok,Jaih.2000. Metodologi Studi Islam.Bandung: Remaja Rosdakarya
Khoiriyah.2013. Metodologi Studi Islam.Yogyakarta: Teras.
Muhaimin.2005.Studi Islam.Jakarta: Kencana Prenada Media.
Nurhakim,Moh.2004.Metodologi Studi Islam.Malang: UMM Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar